Rabu, 04 Mei 2011

SANG PENGIBAR


Penulis: Nur Aisyah Siregar
Sobat Nida, memperingati Hari Pendidikan Nasional, cerpen ini kayaknya layak banget untuk kita apresiasi.
Pertama, tema yang diangkat cocok. Kedua, penulisnya pun seorang guru. Klop banget deh! Selamat membaca...
            Matahari sudah condong ke barat. Sedikit tersembunyi oleh semburat jingga yang terpapar di kaki langit. Sekolahku sudah sepi dari satu jam yang lalu. Aku masih menunggu Bu Indah. Asap berjelaga membuat mataku pedih. Pak Zain yang sedang membakar sampah tak jauh dari tempatku duduk tertawa.
            “Tidak usah kau risau meninggalkan sekolah ini, Akbar. Sampai keluar pula airmata,” canda Pak Zain, penjaga sekolah yang masih tampak gagah meskipun usianya sudah kepala enam.
            “Bukan sekolah yang kurisaukan, melainkan kain sarung bapak. Asyik kali bapak menjolok sampah yang di tengah, sampai tak sadar ujung sarung terbakar,” balasku mengoloknya.
Serta merta Pak Zain mengibaskan sapu lidi di tangannya ke ujung kain sarungnya. Sementara itu, Bu Indah telah selesai mengemas barang-barang yang akan kubawa.
“Semua sudah beres, Akbar. Angkatlah tas itu! Selamat jalan dan hati-hati di sana ya.” Bu Indah menyerahkan kertas yang berisi daftar barang-barang yang harus kubawa selama karantina.
“Terimakasih, Bu.” Kusalam beliau dengan takzim. Kalau saja Bu Indah muhrimku, mungkin sudah kupeluk dan kucium pipinya sebagai tanda terimakasihku.
Bu Indah, wali kelasku. Guru yang sangat peduli dengan siswa-siswanya. Anak-anak pesisir yang terkenal tidak peduli dengan sekolah.  Berkat bimbingan beliau, kami paham bahwa sekolah bukan untuk mencari pekerjaan tetapi untuk mencari ilmu. Setidaknya sudah tidak ada lagi teman-temanku yang bolos karena ikut ke laut sebagai nelayan pada hari sekolah.
*****
            Menunggu adalah pekerjaan yang membosankan. Telah satu jam aku berada di ruang tunggu bandara. Orang-orang pemerintahan yang mengantarku dan Lisa telah entah ke mana. Lisa sama sepertiku, utusan propinsi sebagai pasukan pengibar bendera di Istana Negara. Kulihat Lisa begitu asyik dengan notebooknya. Jemari lentiknya lincah menekan satu tombol ke tombol yang lain. Mulutnya mengunyah permen karet. Dia terlihat begitu santai. Dia pasti sudah terbiasa naik pesawat, pikirku.
            Ini adalah kali pertama aku naik pesawat. Aku ingin ummi dan ayah mengantarku sampai ke bandara seperti orangtua Lisa. Tetapi karena ketiadaaan biaya membuat mereka hanya mengantarku sampai stasiun kereta api di kampungku. Ada sedikit perih di sudut hatiku, mengingat kembali bagaimana aku bisa sampai di sini.
Aku begitu bangga dan senang ketika dinyatakan sebagai anggota pasukan pengibar bendera Sang Saka Merah Putih di Istana Negara pada tanggal 17 Agustus mewakili propinsiku. Kudengar ucap syukur berulang-ulang pada yang Kuasa ketika berita ini kusampaikan pada orangtua dan kepala sekolahku.
Tiba-tiba saja aku menjadi terkenal di kampung. Semua orang membicarakanku. Anak kampung yang berhasil ke Jakarta. Bertemu langsung dengan Bapak Presiden. Bisa jalan-jalan gratis ke Jepang. Biasanya setelah selesai melaksanakan tugas, para anggota Paskibraka akan diajak jalan-jalan ke luar negeri secara gratis, tahun ini ke Jepang. Bisa masuk TV. Hal-hal yang sangat diimpikan anak kampung seperti aku. Dan akan kulalui, bukan dalam mimpi!
Aku diizinkan pulang beberapa hari untuk mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa selama karantina di Jakarta. Aku serahkan daftar itu pada Kepala Sekolah.
“Yang mana yang sudah disediakan panitia di propinsi, Akbar?” tanya Pak Muslim mengambil pulpennya.
Aku terdiam. Bodohnya aku, kenapa aku tidak bertanya. Dasar orang kampung! Makiku pada diriku sendiri.
“Tidak tahu, Pak!” jawabku lemah.
Pak Muslim memandangku, tersenyum arif. Ditekannya beberapa angka di telepon. Dengan ramah beliau minta penjelasan tentang daftar tersebut pada orang yang di telepon.  
“Semua barang yang ada di daftar ini disediakan sendiri oleh orang yang bersangkutan. Tidak ada lagi dana dari propinsi. Habis hanya untuk kegiatan seleksi saja,” jelas Pak Muslim miris. Ditangkupkannya kedua tangan di depan wajah. Khas Pak Muslim jika beliau sedang berpikir.
Beliau tahu, orangtuaku tidak mungkin menyediakan barang-barang tersebut sendirian. Ada baju batik, sepatu lars, pakaian olahraga lengkap, kaus dalam berwarna putih dan lain-lain. Satu pun tidak ada yang kumiliki. Belum lagi biaya perjalananku ke Jakarta.
Ditekannya kembali beberapa angka di telepon. Kudengar dia memohon bantuan dana pada orang yang di telepon. Dengan sedikit menghentak dia meletakkan telepon.
“Dari pemerintahan daerah juga tidak bisa mengeluarkan bantuan dana.” Kembali beliau menangkupkan kedua tangannya.
“Kembalilah dulu ke kelas, Akbar,” perintahnya.
Aku berjalan gontai di koridor menuju kelasku. Aku membawa nama baik kabupaten bahkan propinsi, tetapi kenapa tidak ada yang peduli. Apa semua yang menjadi anggota pasukan pengibar bendera di Istana Negara harus orang kaya?
Pulang sekolah, Pak Muslim mengadakan rapat dengan para guru. Mereka berdiskusi bagaimana cara membantuku.
“Tidak ada gunanya mengharap pemerintah,” ujar Pak Muslim datar kepada para guru.
“Bagaimana kalau kita buat acara tepung tawar untuk Akbar, Pak. Kita undang para pejabat daerah termasuk Bapak Bupati. Bisa dikatakan, Akbar membawa nama baik daerah. Sebagai kepala daerah tentunya beliau akan malu bila tidak hadir, apalagi belum pernah ada siswa di daerah kita yang menjadi anggota Paskibraka Nasional” usul Pak Agus.
“Benar, Pak. Sekalian kita undang wartawan. Yang namanya pejabat, kalau masuk koran atau TV menampakkan wajah palsunya. Kelihatan paling peduli dan antusias agar mendapat pujian dari masyarakat,” timpal pak Solihin. Semua setuju.
Aku memakai pakaian adat Melayu lengkap berwarna kuning. Aku duduk di depan menghadap para tamu, bagai seorang raja. Kulihat Pak Muslim bercakap-cakap dengan Bapak Bupati. Teman-temanku bersama para guru duduk di belakang para tamu. Mereka mengacungkan tangan mereka memberi semangat kepadaku.
Acara tepung tawar dimulai dengan serangkaian upacara formil, karena Bapak Bupati hadir. Kulihat ayah gemetar dan gugup memberikan kata sambutannya. Belum pernah aku melihat beliau menangis. Ia hanya mengatakan ia bangga padaku. Terus berulang-ulang. Ingin rasanya aku berlari dan memeluknya.
Setelah selesai, satu per satu tamu menyiramku dengan beras, daun pandan dan bunga yang telah dipotong-potong serta memercikkan air ke tubuhku. Setelah itu mereka menyalamkan amplop yang berisi uang ke tanganku. Begitulah adat tepung tawar di daerahku.
Aku terharu ketika para guru dan teman-teman juga ikut menyalamkan amplop ke tanganku.
 “Ini dari teman-teman sekelas kita,” Siti menyerahkan kotak dibungkus kertas koran.
 “Makasih,” kataku malu. Malu karena merasa betapa miskinnya aku di depan gadis yang kutaksir.
Aku serahkan semua uang yang kuperoleh pada Pak Muslim. Setelah dihitung, ternyata masih kurang. Pak Muslim mengajakku ke rumahnya, istri beliau telah menunggu.
“Akbar, kau tunggu Bu Indah di sini. Kalian akan pergi membeli barang-barang yang kau butuhkan. Bapak dengan ibu pergi sebentar!” Bu Hayati tersenyum di boncengan suaminya. Sepeda motor honda tahun 90an itu melaju meninggalkan asap tipis di depanku.
Ternyata Pak Muslim pergi menjual gelang emas istrinya untuk menutupi kekurangan biayaku. Pak Muslim tidak mengatakannya padaku, tetapi Bu Indah yang keceplosan bicara.

0 komentar:

Posting Komentar