Siang itu, GPK yang beranggotakan empat orang mengadakan rapat serius di bawah pohon rindang depan kamar mandi SD Sriwijaya.
“Do, kenapa lu setuju sama ide gak waras guru baru itu sih?” Amel melotot ke arah seorang cowok cool bermata besar dan rambut belah tengah yang bernama Edo.
“Tauk! Masa’ kita disuruh bikin novel! Ngerepotin aja!” Tiwi ikut-ikutan manyun.
“Kalau bukan karena lu yang nyanggupin, anak-anak sekelas juga gak bakal nerima misi enam bulan dari si Thiya itu, Do!” Amel nambahin lagi. Kelihatan sekali dia yang paling emosi. Asap tampak mengepul dari hidung dan kupingnya.
Sampai sini, Edo masih kalem dan hampir tak bergeming. Cowok yang lama-lama baru kelihatan gantengnya ini seperti terlihat sedang berpikir dalam, dan kayaknya tidak mendengarkan ocehan-ocehan Amel dan Tiwi barusan.
“Sebenernya lu ada rencana apa, Do? Bagi-bagi dong!” kali ini Wahyu yang bersuara.
“Gue sih takutnya anak-anak kelas jadi terlanjur suka sama Bu Thiya itu. Habis orangnya senyum mulu, trus keliatan pinter. Gak kayak guru-guru laen yang cuma bisa bentak dan nyuruh ngerjain tugas doang. Udah gitu kalo ditanya malah ngamuk.” Sahut Wahyu lagi.
Rupanya untuk omongan Wahyu kali ini, Edo turut mendengarkan. Dan diam-diam menyetujui dalam hati. Memang, bahkan sejak pertemuan pertama dengan guru pengganti itu kemarin, anak-anak kelas kelihatan sudah menaruh minat dan mulai tertarik dengan segala perkataan Fathiya. Ingatan Edo menerawang, mengingat kembali percakapan di kelas kemarin siang….
“Bu Thiya, kenapa sih misinya harus menulis? Apa untungnya buat kita-kita?” sebuah pertanyaan meluncur. Zainab Fathiya masih saja tersenyum menanggapi.
“Loh? Kalian belum tahu ya? Menulis itu bisa mengaktifkan otak kalian dan membuat kalian bertambah cerdas!” jawabnya santai.
“Ah! Masa’ sih? Perasaan… si Tiwi nulis terus tiap penjelasan guru-guru di depan kelas, sampai bukunya habis, tapi otaknya masih aja lemot tuh!” sahut Amel ketus.
“Iya bener!” seru Tiwi, menanggapi serius. “Saya buktinya!” ujarnya lagi tanpa malu-malu. Beberapa anak bisik-bisik sambil tertawa kecil mendengar pengakuan Tiwi itu.
“Ooh… kalau itu sih namanya mencatat, bukan menulis! Yang saya maksud dengan menulis adalah mengekspresikan pikiran dan perasaan dalam bentuk kata-kata tertulis. Kayak gitu baru bisa bikin otak aktif!” Zainab Fathiya berjalan mendekati bangku Tiwi. “Misalnya, kalau kamu sedang kesal pada seseorang, kemudian kamu ungkapkan di diary, itu jauh lebih efektif mengobati perasaan daripada kamu berantakin kamar dan ngebanting barang-barang.”
“Atau… kalau kamu sedang merasa senang, sedih, terluka, kecewa, marah, takut, kemudian kamu menuliskannya di blog atau secarik kertas misalnya, perasaan kamu pasti akan jauh lebih enak daripada dipendam sendiri. Ini namanya menulis dengan mengungkapkan emosi.” Fathiya menambahkan. “Dan menulis seperti ini bisa bersifat menyembuhkan.”
“Banyak lo anak-anak korban tsunami atau bencana lainnya yang traumanya sembuh dengan terapi menulis.” Serunya lagi. Namun kemudian segera dipotong oleh Amel dengan nada mencibir.
“Yee… emangnya kita anak-anak pengungsian! Lagian…emangnya kita pada penyakitan apa, sampe’ harus disembuhin dengan nulis. Iiih!”
Aneh. Guru pengganti yang masih muda itu tetap saja terlihat santai. Seperti tidak terganggu dengan cibiran Amel itu. Padahal kalau bu guru yang lain pasti sudah berteriak, “Eh, tidak sopan kamu bicara begitu sama guru sendiri! Keluar sana!”
Fathiya berdehem sebentar.
“Kalian pernah dengar adanya perdagangan otak internasional?” tanyanya tiba-tiba.
“Perdagangan otak atau otak-otak, Bu?” sahut Wahyu.
“Otak! Otak manusia! Apa kalian tidak tahu… otak orang Indonesia harganya jauh lebih mahal dibanding otak orang negara lain? Apalagi otak orang Jepang atau orang Amerika dan Israel, harganya jatuh.”
“Weis!” Wahyu tampak bangga mendengarnya. “Otak gue lebih mahal dari pada otak orang Jepang dong! Mantap!”
“Kok bisa gitu, Bu? Emang berapa harganya?” Tanya Tiwi polos.
Fathiya tak kuasa menahan tawa kecil. Sambil tersenyum ia menjawab,
“Otak orang Indonesia dijual mahal dan harganya sangat tinggi karena rata-rata orang Indonesia otaknya masih orisinal, alias belum pernah dipake’. Masih sama persis dengan ketika lahir. Beda dengan orang Jepang atau Yahudi, mereka selalu memakai otaknya untuk berpikir, menciptakan sesuatu. Jadi koneksi saraf di otak mereka padat.”
Tapi rupanya ada yang masih tidak sadar kalau jawaban barusan itu cuma becandaan dan bahkan lelucon ejekan untuk yang merasa sebagai orang Indonesia.
“Kalau gitu, gak usah banyak-banyak mikir ah! Lumayan kan kalau otakku dijual mahal, bisa beli HP baru!” Tiwi mengatakannya dengan girang sekali. Rata-rata anak sekelas ketawa mendengar gumaman Tiwi yang asli memperlihatkan keorisinalan otaknya itu.
“O’on lu! Tadi itu guyonan buat ngeledek otak lu yang gak pernah dipake’ mikir, tauk!” seru Amel, marah pada kebodohan rekan GPK-nya yang tampaknya masih saja tidak mengerti.
“Nah, oleh karena itu, saya ingin kita semua menjadi lebih cerdas. Kita akan mulai dari hal kecil yaitu belajar menulis, belajar menggunakan belahan otak kanan dan otak kiri sekaligus. Tapi bukan sembarangan menulis, melainkan menulis novel. Tenang saja… saya akan memandu kalian selama tiga puluh menit saja tiap pertemuannya. Kalian bisa menulis di rumah atau di mana pun kalian mau. Enam bulan ke depan, masing-masing dari kalian sudah punya karya tulis sendiri yang bisa kalian banggakan.”
Aneh. Makin dijelaskan, kok malah makin terasa tertantang dan ingin mencoba.
Sepanjang percakapan siang itu, Edo hanya terdiam dan tidak terlihat mau membantah. Hal ini membuat kesal anggota GPK lainnya.
“Wooy, Do! Elu kok malah bengong sih? Sebenernya apa rencana lu buat ngabisin guru pengganti baru ini?” Wahyu mengguncang bahu Edo yang dari tadi terlihat mengawang-awang. Edo terkesiap.
“Rencana?” keningnya mengernyit, “Rencana apa sih maksud kalian? Gue gak punya rencana apa-apa!” seru Edo sambil berdiri hendak meninggalkan rapat GPK kali ini.
“Jadi?” Amel, Tiwi, dan Wahyu kompak barengan bertanya sambil berkacak pinggang.
“Jadi? Ya… kita ikuti saja rencana dia! Lagipula rencananya gak jelek-jelek amat, bisa kepake buat masa depan lu-lu pada juga kan!” setelah bicara nyantai begitu, sang pemimpin GPK pun berlalu dari tempat rapat itu.
0 komentar:
Posting Komentar