Rabu, 25 Mei 2011

BINTANG BUNDAKU

0 komentar

                                                              
            Semangat sayaang, kau harus tetap semangat!. Itu lah yang selalu dikatakan bunda. Bonda     seslalu berkata seperti itu saat aku sedang susah. Bukannya aku mendengarkan, aku justru lebih focus pada pekerjaanku. Aku sangat bosan dengan perkataan-perkataan itu.
            Hingga pada suatu hari.. Nina pulang…. Teriakku ketika baru masuk kedalam rumah. Teriakku ini sedikit lemas, karena aku mendapatkan suatu yangburuk. Tiba-tiba bunda datang menghampiriku “kamu kenapa sayang?”bundaku bertanya.akupun menunjukan kertas ulanganku. “Ya tuhan!” bunda terkajut ketika melihat hasil ulanganku. Namun bukan raut wajah marah yang terlihat, tetapi malah senyum. “ tidak ap-apa saying ini hanyalah keberhasilan yang tertunda.” Kata bunda. Fikirku” lagi lagi perkataan itu, bosan ah….”.setelah itu aku di ajak bunda ke mejamakan untuk makan siang bersama. Syukurlah lauk kali ini adalah lauk kesukaanku. Jadi marahku sedikit terkurangi.

Jumat, 13 Mei 2011

SAM part 2

0 komentar



“BU-KU...”

Kemudian satu persatu, murid-muridnya disuruh maju untuk membaca sendiri di depan. Ada yang gemetar, gugup, takut, senang, tertawa, bahkan ada yang hampir menangis karena tak bisa membaca. Secara lembut Sam membimbing murid-muridnya dengan pendekatan individu. Ia memperhatikan siapa saja yang masih tertinggal, dengan  begitu mereka akan cepat bisa membaca, harap Sam.

Dari sudut matanya, Sam memperhatikan murid-muridnya dengan prihatin. Murid-muridnya tak seperti siswa sekolah yang lain, memakai seragam. Di sini mereka bersekolah hanya memakai pakaian sehari-hari, bahkan ada anak yang memakai baju yang biasa dibawa ke ladang.

Semangat anak-anak dalam belajar itulah yang membuat Sam tetap bertahan mengajar di sini, walau tanpa teman guru yang lain. Kalau ia juga ikut meninggalkan sekolah ini, siapa lagi yang akan mengajari anak-anak itu membaca, berhitung, dan ilmu lainnya? Anak-anak itulah nanti yang akan menjadi penerus bangsa ini. Sam tak ingin anak-anak itu seperti orangtua mereka, buta huruf. Ia ingin anak-anak itu tumbuh dengan cerdas, sehingga bisa membangun kampung halamannya.

SAM

0 komentar


Penulis: Muhammad Saleh

  
Seperti pagi kemarin, sebelum dia pergi ke kelas untuk mengajar, Sam menatap tiga kursi kosong di sampingnya dalam ruang kantor guru. Ia menghembuskan napas pelan dengan raut muka sedih, seperti ada yang bergumul dalam hatinya. Sudah tiga hari yang empu-nya kursi itu belum juga datang, untuk kembali mengajar anak-anak Pegunungan Meratus. Pegunungan yang masih lebat dengan pohon-pohon raksasa, hewan-hewan liar, dan bermacam tumbuhan lainnya, di Propinsi Kalimantan Selatan.

Semua ini bermula dari percakapan tiga hari yang lalu di ruangan itu. Obrolan ringan sebelum jam pelajaran masuk. Sebenarnya lebih mirip curahan hati masing-masing.

“Saya sudah capek ngajar di sini, tak tahan rasanya,” keluh Pak Agus memulai percakapan.

“Saya juga merasa begitu, Pak” imbuh Pak Adi, “sudah malam sepi, gelap lagi tak ada listrik.” 

“Iya, tiap minggu kita juga harus bolak-balik dari kota kesini,” Pak Sholeh menimpali, “coba kalau di sini ada sinyal handphone, mungkin tak akan membosankan seperti ini.”

Jarak antara kota dan Pegunungan Meratus memang sangat jauh. Butuh waktu berjam-jam. Jangan membayangkan jalanan mulus beraspal yang dilalui selama perjalanan. Akan tetapi, medan jalan yang sangat sulit, terjal, dan mendaki. Apalagi kalau musim hujan tiba, lumpur dan air menggenangi di setiap ruas jalan. Demi sampai ke tempat tujuan, guru-guru yang mengajar ke sana, harus menempuh perjalanan tiga kilo meter lebih dengan berjalan kaki. Motor mereka harus ditinggal di dusun kaki pegunungan. Sungguh perjuangan yang berat.

“Saya nanti akan mengajukan surat pindah saja,” kata Pak Agus lagi. Pak Agus memang selama beberapa hari ini sudah tak bersemangat lagi dalam mentransfer ilmunya pada anak-anak. Mungkin karena sudah merasa bosan mengajar di tempat terpencil ini.
“Saya juga, Pak,” sahut Pak Sholeh, “saya mengajar di sini sudah lebih dari tiga tahun, tapi tidak ada juga perlakuan khusus dari pemerintah,” lanjutnya menyesal. 

Pak Adi manggut-manggut.
Selain sepeda motor berplat merah, tak ada lagi tunjangan yang lain. Paling tidak pemerintah bisa menaikkan gaji mereka dua kali lipat bagi guru-guru yang mengajar di Pegunungan Meratus ini atau daerah-daerah terpencil lainnya agar guru-guru bersemangat dan betah mengajar, serta tidak merasa dibuang oleh pemerintah. Tak hanya guru-guru yang bersertifikasi saja yang mendapatkan gaji lebih. Sudah mengajar di kota, besar pula gajinya. Sungguh tak adil rasanya.

“Lha, kalau bapak-bapak semua mau pindah, siapa yang akan mengajar di sini?” Sam yang dari tadi diam mendengarkan, angkat bicara. Di antara empat guru yang mengajar, dialah yang termuda. Ia begitu mengkhawatirkan nasib murid-muridnya, kalau tak ada lagi guru-guru yang bersedia mengajar di sini.

Sadar pertanyaan itu ditunjukkan untuk siapa, ketiganya lantas tersenyum bersamaan menatap ke satu arah.

“Sam, yang belum berkeluarga hanya kamu,”  kata Pak Adi, “jadi, saya rasa kamu pasti sanggup bertahan mengajar di tempat ini, sedangkan kami, tiap minggu harus pulang berkumpul dengan anak-istri.” 

Sam memang belum menikah atau memiliki pasangan hidup. Ia baru saja diangkat menjadi pegawai negeri. Ia beruntung, setelah lulus kuliah langsung ikut seleksi penerimaan CPNS. Di luar dugaannya ia langsung diterima, dengan segala konsekuensi yang telah ia tanda tangani, bersedia di tempatkan di mana saja di seluruh wilayah Indonesia. Maka dengan ikhlas ia menerima surat tugasPegunungan Meratus ini. Menurut guru-guru yang lainnya, Sam mampu bertahan mengajar di pegunungan Meratus tanpa memikirkan anak-istri.

“Lagian, murid di sini kan tidak banyak. Baru satu kelas, pasti kamu sendirian sanggup mengajar anak-anak itu, Sam,” cetus Pak Agus menimpali, yang lainnya juga tampak setuju. Sam semakin terpojok.

“Pak....!” sebuah suara di bibir pintu mengagetkan Sam. Kontan membuyarkan ingatannya akan percakapan yang berkelindan dalam keping memori otaknya. Sam menoleh ke sumber suara. Seorang bocah dengan pakaian lusuh dan tampak dekil tersenyum memperlihatkan gigi ompongnya.

“Waki, ada apa?”

“Waktunya masuk, Pak,” bocah itu mengingatkan.

Sam baru sadar setelah melihat ke jam dinding di depannya, kalau jam pelajaran sudah terlewat sepuluh menit. Gegas ia mengambil buku paket di kolong meja, segera mengikuti Waki yang berlari mendahuluinya menuju kelas.

***
    Dalam ruangan yang hanya berukuran 5 x 5 meter itu, anak-anak Meratus tampak antusias mendengarkan dan memperhatikan penjelasan Sam tentang membaca dan merangkai kata. Anak-anak itu masih banyak yang tidak bisa membaca, bahkan mengenali huruf dari A-Z tampak masih kesulitan. Wajar saja karena orang tua mereka tak mampu mengajari. Mereka pun kebanyakan buta huruf.

    Sam menulis beberapa suku kata pada papan tulis di depan. Murid-murid tampak sibuk menyalin pada buku tulisnya. Memperhatikan huruf demi huruf dengan seksama.

    “Kalau sudah selesai menulisnya, sekarang ikuti bapak,” kata Sam, sambil memperhatikan tulisan murid-muridnya dari meja ke meja.

Semua murid mengangguk, “Sudah, Pak!”

    “B...u...bu-bu,” seru Sam mengejakan huruf per suku kata.

    “B...u...bu-bu,” sahut murid-muridnya serempak.

    “K...u...ku-ku,”

    “K...u...ku-ku,”

   “Bu-ku...”

Rabu, 04 Mei 2011

SANG PENGIBAR

0 komentar

Penulis: Nur Aisyah Siregar
Sobat Nida, memperingati Hari Pendidikan Nasional, cerpen ini kayaknya layak banget untuk kita apresiasi.
Pertama, tema yang diangkat cocok. Kedua, penulisnya pun seorang guru. Klop banget deh! Selamat membaca...
            Matahari sudah condong ke barat. Sedikit tersembunyi oleh semburat jingga yang terpapar di kaki langit. Sekolahku sudah sepi dari satu jam yang lalu. Aku masih menunggu Bu Indah. Asap berjelaga membuat mataku pedih. Pak Zain yang sedang membakar sampah tak jauh dari tempatku duduk tertawa.
            “Tidak usah kau risau meninggalkan sekolah ini, Akbar. Sampai keluar pula airmata,” canda Pak Zain, penjaga sekolah yang masih tampak gagah meskipun usianya sudah kepala enam.
            “Bukan sekolah yang kurisaukan, melainkan kain sarung bapak. Asyik kali bapak menjolok sampah yang di tengah, sampai tak sadar ujung sarung terbakar,” balasku mengoloknya.
Serta merta Pak Zain mengibaskan sapu lidi di tangannya ke ujung kain sarungnya. Sementara itu, Bu Indah telah selesai mengemas barang-barang yang akan kubawa.
“Semua sudah beres, Akbar. Angkatlah tas itu! Selamat jalan dan hati-hati di sana ya.” Bu Indah menyerahkan kertas yang berisi daftar barang-barang yang harus kubawa selama karantina.
“Terimakasih, Bu.” Kusalam beliau dengan takzim. Kalau saja Bu Indah muhrimku, mungkin sudah kupeluk dan kucium pipinya sebagai tanda terimakasihku.