Siang itu, GPK yang beranggotakan empat orang mengadakan rapat serius di bawah pohon rindang depan kamar mandi SD Sriwijaya.
“Do, kenapa lu setuju sama ide gak waras guru baru itu sih?” Amel melotot ke arah seorang cowok cool bermata besar dan rambut belah tengah yang bernama Edo.
“Tauk! Masa’ kita disuruh bikin novel! Ngerepotin aja!” Tiwi ikut-ikutan manyun.
“Kalau bukan karena lu yang nyanggupin, anak-anak sekelas juga gak bakal nerima misi enam bulan dari si Thiya itu, Do!” Amel nambahin lagi. Kelihatan sekali dia yang paling emosi. Asap tampak mengepul dari hidung dan kupingnya.
Sampai sini, Edo masih kalem dan hampir tak bergeming. Cowok yang lama-lama baru kelihatan gantengnya ini seperti terlihat sedang berpikir dalam, dan kayaknya tidak mendengarkan ocehan-ocehan Amel dan Tiwi barusan.
“Sebenernya lu ada rencana apa, Do? Bagi-bagi dong!” kali ini Wahyu yang bersuara.
“Gue sih takutnya anak-anak kelas jadi terlanjur suka sama Bu Thiya itu. Habis orangnya senyum mulu, trus keliatan pinter. Gak kayak guru-guru laen yang cuma bisa bentak dan nyuruh ngerjain tugas doang. Udah gitu kalo ditanya malah ngamuk.” Sahut Wahyu lagi.
Rupanya untuk omongan Wahyu kali ini, Edo turut mendengarkan. Dan diam-diam menyetujui dalam hati. Memang, bahkan sejak pertemuan pertama dengan guru pengganti itu kemarin, anak-anak kelas kelihatan sudah menaruh minat dan mulai tertarik dengan segala perkataan Fathiya. Ingatan Edo menerawang, mengingat kembali percakapan di kelas kemarin siang….